Cerita Kulit dan Perjuangan Skincare
Sejak kecil kulitku memang sensitif. Kena debu sedikit saja langsung gatal-gatal dan merah-merah. Oleh karena itulah saya harus rajin cuci tangan, pakai body lotion, cuci muka, dan selalu pakai two way cake kalau keluar rumah, agar debu tidak langsung menempel di wajah.
Sampai dengan usia akhir dua puluhan, boleh dibilang tidak ada masalah berarti di wajahku. Skincare pun simple saja, hanya sabun muka dan pelembab, itu pun pelembab yang sama untuk pagi dan malam, sedangkan sabun mukanya bisa gonta-ganti mana yang termurah di minimarket.
Saat mulai masuk kepala tiga, mucullah beberapa biji bruntusan kecil-kecil di pipi kanan. Karena bingung harus bagaimana, saya pun berkunjung ke dokter kulit, dan diberi krim anti iritasi. Dan saya pun dapat paket diskon perawatan tubuh dan wajah. Saya ambil lulur coklat dan facial rejuvenation.
Terapisnya cantik, baik, ramah dan sabar. Tubuh saya sangat dimanjakan, wajah pun diperlakukan dengan sangat halus dan telaten. Hasilnya? Wow!
Masalah kelar.
Pindah rumah
Sekitar sepuluh bulan kemudian bruntusan muncul lagi, dengan area lebih luas. Ke dokter kulit lagi di klinik lain yang dekat rumah baru, dan kali ini diberi serangkaian produk: krim anti iritasi, sabun muka untuk kulit sensitif, krim siang dengan Spf 10, krim malam untuk kulit sensitif. Harganya? Lumayan lah.
Tahun berikutnya, suami mulai protes dengan wajahku yang menghitam dan kucel banget. Akhirnya ke dokter kulit lagi. Menurut analisa dokter, kali ini wajahku kusam, banyak calon jerawat, banyak hiperpigmentasi dan hipopigmentasi.
Wuih, banyak banget ya masalahnya?
Tapi produk yang didapat cuma berubah krim malamnya saja, dengan varian lain yang memiliki efek mencerahkan dan meratakan warna kulit.
Hasilnya memang terlihat nyata, hanya saja mataku agak melotot saat harus mengeluarkan sejumlah lembaran dari dompet. Dan satu lagi, paket facial yang ditawarkan ternyata biasa saja.
Beberapa bulan kemudian, saat produk dari dokter kulit sudah mulai sedikit, agak mikir juga kalau harus repurchase, sayang banget rasanya duit segitu untuk langganan ke dokter.
Mulailah googling tentang perawatan wajah, dan pengetahuan tentang skincare pun bertambah. Puncaknya beberapa tahun yang lalu, saat selalu pede tampil kapan pun di mana pun meski tanpa make up.
Masalah kembali datang saat Ory usia tiga tahun, saya mulai lepas Pil KB Laktasi. Ceritanya sih ingin hamil, tapi yang muncul malah jerawat di mana-mana.
Mencoba berbagai krim anti jerawat, sampai bertemu dengan Vitacid Cream 0,025%. Hanya ada satu apotek dekat rumah yang menjualnya.
Cocok sih, cuma efeknya agak lambat. Setelah habis satu tube, masih harus lanjut tube berikutnya.
Nah, di sinilah masalah bermula. Di apotek itu cuma ada yang 0,05%, sedangkan apotek lain tidak menjualnya. Terpaksa deh beli yang ini, dengan harga lebih mahal sedikit saja.
Ternyata karena konsentrasinya lebih tinggi, efek ke kulit pun lebih tajam, meninggalkan pih (post inflammatory hyperpigmentation) yang sampai sekarang masih terlihat.
Dan sampai sekarang pun, saya masih berjuang untuk menghilangkannya, di samping masalah lain seperti fine lines yang mulai muncul seiring bertambahnya angka usia.
Namun sepertinya saya akan tetap berusaha mencari produk drugstore yang lebih terjangkau.
Aku dulu sempat mau coba Vitacid karena udah stress sama kondisi kulit, tapi masih maju mundur, belum ada nyali. Sekarang mau coba retinol tapi mau cari produk yang lebih mild dan yang cocok buat pemula.
Mending cari yg otc lebih aman