Berdamai dengan Luka?
Curhat. Kejadian nyata yang saya alami sendiri. Nama, tempat dan lain-lain disamarkan.
Seumur hidup saya, beberapa orang tercinta sudah meninggalkan saya untuk selamanya. Semuanya meninggal karena sakit dan sudah sepuh.
Rasa sakit atas kehilangan orang tercinta, rindu mendalam yang tak bisa terobati, tumpah ruah dalam doa dan air mata, tidak bisa sembuh seketika. Perlu waktu berbulan-bulan bahkan lebih dari setahun.
Kali ini saya ingin bercerita tentang Eneng (panggilan kesayangan), ponakan saya yang paling cantik, meninggal di usia 20 tahun minus 40 hari, karena kecelakaan, tanpa tahu siapa penyebabnya dan Polisi pun tidak mau mengungkapnya.
Pusara Eneng
Kemod (bukan nama sebenarnya) adalah saksi utama yang menyaksikan langsung kecelakaan itu, yang tidak mau mengatakan kejadian sesungguhnya di persidangan.
Asep (bukan nama sebenarnya), adalah teman Eneng yang membonceng saat kecelakaan, jadi terdakwa di persidangan, tidak pernah tahu apa yang terjadi karena langsung pingsan.
Sampai hari ini, jelang dua tahun kepergiannya, saya merasa Eneng masih hidup. Tiap kali ke rumahnya, perasaan saya Eneng sedang kuliah.
Dan sampai saat ini, jelang dua tahun kepergiannya, saya masih belum bisa memaafkan Kemod yang tidak mau mengatakan yang sejujurnya. Serta Polisi yang sangat malas mengungkap fakta yang sesungguhnya.
Beberapa hal yang membuat saya terpaksa harus berdamai dengan luka ini adalah:
- Kenyataan yang tidak bisa disangkal, bahwa Eneng telah tiada
- Hidup saya terus berjalan, tidak bisa stuck di situ saja
- Kehadiran Baby Fatih yang tak terduga di rahimku, tepat saat kami berduka
Ucapan terimakasih, kepada:
- Warga di tempat kejadian yang langsung menolong
- Kru Puskesmas setempat yang sempat memberikan pertolongan pertama dan mengantar Eneng pulang ke rumah
- Karyawan toko yang bersedia memperlihatkan potongan rekaman cctv yang menangkap gambar "terduga" penyebab kecelakaan
Satu hal yang pasti, meski selalu berurai air mata, Eneng akan selalu hidup di otakku.