Pasar Glodok Dalam Kenangan: Sejarah dan Perkembangannya

Siapa yang pernah membeli komputer di pasar Glodok? Atau berbelanja VCD dari toko langganan? Bagi banyak orang, Glodok adalah tujuan utama untuk belanja kebutuhan elektronik, barang-barang Imlek dan perlengkapan sembahyang. Terletak di Jakarta Barat, Glodok merupakan salah satu kawasan pecinan terbesar di Indonesia dengan sejarah panjang yang berperan penting dalam perkembangan ekonomi dan budaya Jakarta.  


Asal usul nama Glodok

Nama "Glodok" berasal dari suara air yang mengalir melalui pancuran kayu, menghasilkan bunyi "glodok-glodok." Pancuran ini, yang dibangun sekitar tahun 1670-an, dulunya digunakan oleh penduduk setempat untuk mandi dan mencuci. Suara khas dari pancuran tersebut menjadi ciri dan nama kawasan ini.  

Pada abad ke-18, setelah peristiwa tragis pembantaian etnis Tionghoa pada tahun 1740, pemerintah kolonial Belanda menetapkan Glodok sebagai kawasan permukiman khusus bagi komunitas Tionghoa. Langkah ini bertujuan untuk mengawasi dan mengendalikan aktivitas mereka. Kebijakan segregasi ini, meskipun diskriminatif, justru menjadi awal terbentuknya identitas kuat komunitas Tionghoa di Glodok.  


Perkembangan ekonomi dan budaya

Seiring waktu, Glodok berkembang menjadi pusat perdagangan yang vital. Pada awal tahun 1970-an, kawasan ini bertransformasi menjadi pusat perbelanjaan modern, khususnya dalam penjualan barang elektronik. Toko-toko di Glodok menawarkan beragam produk dengan harga bersaing, menjadikannya destinasi favorit para pemburu elektronik.  

Namun, Glodok bukan hanya tentang belanja elektronik. Kawasan ini juga merupakan pusat budaya Tionghoa yang kental. Klenteng-klenteng bersejarah seperti Vihara Dharma Bhakti menjadi saksi bisu perjalanan panjang komunitas Tionghoa di Jakarta. Di sini, perayaan tradisional seperti Imlek dan Cap Go Meh dirayakan dengan meriah, menghadirkan keindahan budaya dan tradisi yang memikat.  

Kuliner khas Tionghoa juga menjadi daya tarik utama. Dari nasi campur hingga bakmi khas, Glodok menawarkan pengalaman gastronomi yang kaya. Banyak orang datang ke sini bukan hanya untuk berbelanja, tetapi juga untuk menikmati suasana yang autentik.  

Pengaruh krisis moneter 1998  

Krisis moneter 1998 menjadi salah satu periode tergelap dalam sejarah Glodok. Kerusuhan yang terjadi kala itu tidak hanya menargetkan properti milik komunitas Tionghoa tetapi juga meninggalkan luka mendalam pada masyarakat. Banyak toko di Glodok yang dijarah atau dibakar, menyebabkan kerugian besar.  

Namun, meski sempat terpuruk, Glodok berhasil bangkit. Para pedagang perlahan kembali membangun usaha mereka, meski dalam suasana yang penuh kehati-hatian. Peristiwa ini memperlihatkan ketangguhan komunitas Tionghoa yang terus berjuang untuk mempertahankan peran Glodok sebagai pusat perdagangan.  


Dampak pandemi COVID-19  

Pandemi COVID-19 membawa tantangan baru bagi Glodok. Kebijakan pembatasan sosial dan penurunan daya beli masyarakat sangat memengaruhi aktivitas perdagangan di kawasan ini. Banyak toko tutup sementara atau bahkan permanen karena tidak mampu bertahan menghadapi tekanan ekonomi.  

Namun, pandemi juga mendorong transformasi digital di Glodok. Para pedagang mulai beradaptasi dengan berjualan secara online melalui platform e-commerce. Langkah ini tidak hanya membantu mereka bertahan tetapi juga membuka pasar baru yang lebih luas.  


Hari ini, Glodok tetap menjadi simbol kekayaan sejarah dan budaya Jakarta. Meski telah melewati berbagai tantangan, kawasan ini terus beradaptasi dengan perubahan zaman. Perjalanan panjangnya mencerminkan dinamika sosial, ekonomi, dan budaya yang membentuk wajah ibu kota.  

Bagi generasi muda, Glodok menjadi pengingat bahwa di balik layar modernitas Jakarta, terdapat warisan sejarah yang kaya. Dengan berbagai upaya pelestarian dan inovasi, Glodok terus menjadi bagian penting dari identitas kota ini.  


Pasar Glodok bukan hanya tempat belanja, tetapi juga ruang untuk mengenang, belajar, dan menghargai keberagaman yang menjadi kekuatan Indonesia. Kenangan akan hiruk-pikuk pasar, aroma makanan khas, dan cerita dari para pedagang menjadikan Glodok lebih dari sekadar tempat, Glodok adalah jiwa sejarah dan budaya Jakarta yang terus hidup.  

Teman-teman punya kenangan apa nih di Glodok? Yuk share di kolom komentar. 

Ref
  • https://jakarta-tourism.go.id/article/west-jakarta-eng/jakarta-chinatown-glodok
  • https://lib.ui.ac.id/detail?id=20431764&lokasi=lokal
  • https://megapolitan.kompas.com/read/2024/10/24/14280921/asal-usul-penamaan-pasar-glodok-awalnya-dari-suara-aliran-air

Previous Post
2 Comments
  • mas Dirman
    mas Dirman January 20, 2025 at 2:27 AM

    Belum pernah sempat kesana, tapi memang nama pasar Glodok ini santer sering terdengar kemana-mana tanpa adanya viral sosmed seperti sekarang ini ya.. sayang-sayang aset usaha dan propertinya ya..

  • dinda
    dinda January 20, 2025 at 4:05 AM

    Turut berduka cita atas musibah di pasar glodok, semoga mereka yang jadi korban dari musibah ini diberi ketabahan oleh-Nya. :(
    Aku sering dengar nama pasar ini dari saudaraku di jakarta, karena beliau sering belanja di sini, tapi aku beberapa kali ke Jakarta belum pernah ke pasar glodok.. :(

Add Comment
comment url